Tak bisa menahan gemuruh dalam dada untuk tak protes atas kelaliman yang terjadi di dalam negeri. Mungkin aku tak bisa berteriak, turun ke jalan, menghujat atau sekedar lempar batu untuk memprotes itu semua. Namun aku masih punya jari, tangan, mata, telinga untuk menyampaikan aspirasiku melalui goresan-goresan tinta.
Mengutip sebuah tweet yang ku lihat tadi pagi 'bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat bukan untuk diserahkan kepada pasar bebas,'.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini menunjukkan negara kita tak bisa mandiri secara ekonomi sehingga selalu tergantung dengan harga internasional. Kekayaan alam apa yang Indonesia tak miliki?minyak bumi?gas alam?kelapa sawit?dan sejumlah kekayaan alam lainnya.
Kepemilikan besar atas sejumlah kekayaan alam di dunia tak membuat Indonesia punya andil untuk menentukan harga dunia. Buuktinya untuk menentukan harga minyak, Indonesia masih latah ikut dunia. Bahkan tak habis pikir, sebagai penghasil kelapa sawit terbesar kedua di dunia, Indonesia masih turut perhitungan harga di Rotterdam. Dan sejumlah komoditas lain. Yang jelas dimiliki sebagian besar oleh Indonesia masih latah turut harga dunia.
Ini negara kita, kekayaan alam ini milik kita. Bukan milik investor ataupun negara lain yang datang. Ini untuk rakyat, untuk perut-perut kosong yang selalu berbunyi dari pagi tadi. Untuk sejumlah mata yang hanya bisa menunduk. Untuk mulut-mulut yang terbungkam.
Kemana APBN itu?tak bisakah dialokasikan untuk kemandirian ekonomi. Pernah pengusaha minta pemerintah bangun papan penyulingan gas alam. Namun masalah infrastruktur dan sejuumlah lobi-lobi bikin proyek tidak rampung-rampung.
Pernah katanya akan dibudidayakan alternatif lain sehingga Indonesia tak hanya andalkan minyak bumi. Tapi sejumlah riset, sejumlah penemuan hasil karya anak negeri, hanya jadi gundukan paper tebal yang menghuni meja kerja aparatur. Bahkan ada yang melayang ke negeri lain karena aparatur terlalu banyak pikir dan tak pernah aplikasikan.
Belum lagi kasus korupsi yang bikin gendut APBN. Moral yang tak bisa hilang dari masyarakat Indonesia. Geram sekali rasanya..
Intervensi politikpun bikin birokrasi Indonesia semakin bobrok. Ketegasan dinilai tidak hanya dari omongan dan skenario, tapi dari tindakan. Lebih berdosalah orang yang mengatasnamakan rakyat dan berpura-pura peduli rakyat padahal hanya skenario untuk bentuk pencitraan yang akhirnya membutakan mata masyarakat bawah yang tak tahu apa-apa..
Asa..
Friday, March 30, 2012
Tuesday, March 27, 2012
Pada Angin..
Mencoba bercerita pada angin, tatkala suara sudah tak bisa ditangkap kalbu.
Aku duduk di bawah pohon siang itu tuk rasakan keintiman dengannya. Membangun ikatan hati dengan menyandarkan diri di batangnya yang kokoh.
Lalu ku pejamkan mata, membiarkan angin sapu tubuhku. Ku rasakan kesejukannya, yang seakan memelukku tuk beri ketenangan.
Di tengah senyapku, angin sesekali berhembus kencang. Membangunkanku dari mata yang hampir terlelap.
Alam bawah sadarku rupanya yang bikin angin seakan marah dan luapkan emosinya.
Aku tak berbicara dan berceloteh panjang lebar saat itu. Bahkan tak mengeluarkan suara sedikitpun. Namun angin menyesap dalam-dalam lewat mataku dan berbicara panjang lebar dengan hatiku.
Sehingga pahitku, pedihku dan tangisku dirasakannya.
Aku duduk di bawah pohon siang itu tuk rasakan keintiman dengannya. Membangun ikatan hati dengan menyandarkan diri di batangnya yang kokoh.
Lalu ku pejamkan mata, membiarkan angin sapu tubuhku. Ku rasakan kesejukannya, yang seakan memelukku tuk beri ketenangan.
Di tengah senyapku, angin sesekali berhembus kencang. Membangunkanku dari mata yang hampir terlelap.
Alam bawah sadarku rupanya yang bikin angin seakan marah dan luapkan emosinya.
Aku tak berbicara dan berceloteh panjang lebar saat itu. Bahkan tak mengeluarkan suara sedikitpun. Namun angin menyesap dalam-dalam lewat mataku dan berbicara panjang lebar dengan hatiku.
Sehingga pahitku, pedihku dan tangisku dirasakannya.
Tuesday, March 13, 2012
Hijau Kotaku Berganti Jalanan Lebar....
Entah dari mana harus ku mulai cerita perjalanan ini. Haruskah mengenang kembali cerita lalu supaya tak samar ku buat di sini.
Ku pejamkan mata sesaat, berpindah ke tempat agak sepi supaya bisa mengingat apa yang terjadi.
Baiklah, ku mulai saja cerita perjalanan ini. Perjalanan yang dimulai semenjak ku meninggalkan langkah di kota yang sangat tenang itu. Meninggalkan kenyamanan akan pelukan seorang bunda. Menuju impian yang sampai sekarang tak pernah ku tahu apa mauku.
Ke sana, ke negeri yang belum pernah ku singgahi sebelumnya. Ke negeri yang katanya berkumpul orang-orang yang mengadu asa, mengejar mimpi dan bertaruh takdir.
Negeri yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Negeri yang bisa saja ubahku...
Ingat sekali aku menaiki bus patas saat itu. Masih terbayang pula, muka ketiga adikku dan seseorang yang pernah singgah di hatiku melambai pelan dan setengah tak mengizinkanku pergi. Semuanya terekam jelas, betapa sedih nenekku saat itu melepas cucunya yang seakan tak pernah kembali ke tanah itu lagi.
Namun keinginanku bulat. Tak peduli ku disangka egois karena meninggalkannya. Tak peduli ku sedikit memaksa karena ibukupun tak mengizinkanku pergi.
Aku tetap kukuh pada keinginanku. Karena tak habis hidup hanya diam dan seakan menyerah pada keadaan. "Aku ingin perubahan," tuturku saat itu. Perubahan yang bikinku tak jadi anak manja lagi. Perubahan yang bikinku tak hanya tahu kota kecil, dingin dan sepi ini. Perubahan yang bikinku semakin dekat dengan impianku, keliling dunia dan keliling Indonesia.
Walau punya hati sekeras baja, namun rintik air mata tetap mengalir dari pinggir-pinggir mataku. Masih terbayang wajah adikku yang selalu berebut remote televisi. Masih terbayang juga wajahnya yang harus ku tinggalkan demi impianku.
Tapi hidup harusnya selalu bersyukur. Aku berterimakasih karena mama masih di sebelahku, tertidur lelap di dalam bus yang bergerak agak cepat ini.
Perjalanannya bikin kepala, pinggangku seakan remuk. Begitu jauhnya kah negeri itu hingga aku harus begini susah untuk mencapainya.
Siang sudah berlalu, malampun perlahan-lahan tiba, tapi kami belum tiba juga. Belum menyentuh tanah Jawa yang dijuluki Loh Jenawi itu.Baru kikis sisa-sisa dan bau-bau Sumatra.
Jauh-jauh sekali hingga harus ku dapati sebuah pelabuhan untuk tiba di sana. Bakauheni, begitu orang-orang di sini menyebutnya. Pelabuhan yang terletak di ujung Sumatra ini serupa pabrik ikan saja bagiku. Bau amis menyeruak ke dalam bus membikin tanda-tanda di seluruh bajuku.
Benar, kalau ini masih Sumatra karena masih ku dapati makanan pedas di sini. Rumah makan terakhir yang ku singgahi sebelum menjejakkan kaki ke tanah Jawa itu menyuguhkan makanan pedas yang serupa ketika aku berada di rumah.
Tapi, yang buatku heran, mengapa mereka berbicara bahasa planet yang tak ku mengerti. Kalau itu bahasa Indonesia, masih bisalah ku mengerti. Kalau itupun bahasa Melayu, bisa aku ikutan berbincang dengan mereka. Namun ini, entah bahasa apa yang mereka gunakan bikinku serasa tak berada di Sumatra saja.
Baiklah, kalau ini sebuah pertanda kalau aku harus segera meninggalkan Sumatra. Bersama kapal besar yang siap angkutku menuju negeri itu.
Hutan hijau itu bertukar dengan jalanan lebar-lebar. Udara sejuk itu berganti dengan debu dan udara panas yang menyesakkan dada. Mulai ku lihat gedung-gedung yang tinggi. Mobil-mobil yang tetap tak bisa berjalan lancar di tengah jalanan lebar itu. Truk-truk besar bersatu dengan bus-bus besar dan mobil-mobil itu penuhi jalan raya yang makin tumplek dibuatnya.
"Inikah Jakarta?" batinku.
Ibuku yang sedari kemarin hanya sibuk tidur atau mengeluh mual juga dibuat terperangah karenanya. Maklumlah kami berdua baru pertama kali ini menjejakkan kaki di kota metropolitan ini.
Ku pejamkan mata sesaat, berpindah ke tempat agak sepi supaya bisa mengingat apa yang terjadi.
Baiklah, ku mulai saja cerita perjalanan ini. Perjalanan yang dimulai semenjak ku meninggalkan langkah di kota yang sangat tenang itu. Meninggalkan kenyamanan akan pelukan seorang bunda. Menuju impian yang sampai sekarang tak pernah ku tahu apa mauku.
Ke sana, ke negeri yang belum pernah ku singgahi sebelumnya. Ke negeri yang katanya berkumpul orang-orang yang mengadu asa, mengejar mimpi dan bertaruh takdir.
Negeri yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Negeri yang bisa saja ubahku...
Ingat sekali aku menaiki bus patas saat itu. Masih terbayang pula, muka ketiga adikku dan seseorang yang pernah singgah di hatiku melambai pelan dan setengah tak mengizinkanku pergi. Semuanya terekam jelas, betapa sedih nenekku saat itu melepas cucunya yang seakan tak pernah kembali ke tanah itu lagi.
Namun keinginanku bulat. Tak peduli ku disangka egois karena meninggalkannya. Tak peduli ku sedikit memaksa karena ibukupun tak mengizinkanku pergi.
Aku tetap kukuh pada keinginanku. Karena tak habis hidup hanya diam dan seakan menyerah pada keadaan. "Aku ingin perubahan," tuturku saat itu. Perubahan yang bikinku tak jadi anak manja lagi. Perubahan yang bikinku tak hanya tahu kota kecil, dingin dan sepi ini. Perubahan yang bikinku semakin dekat dengan impianku, keliling dunia dan keliling Indonesia.
Walau punya hati sekeras baja, namun rintik air mata tetap mengalir dari pinggir-pinggir mataku. Masih terbayang wajah adikku yang selalu berebut remote televisi. Masih terbayang juga wajahnya yang harus ku tinggalkan demi impianku.
Tapi hidup harusnya selalu bersyukur. Aku berterimakasih karena mama masih di sebelahku, tertidur lelap di dalam bus yang bergerak agak cepat ini.
Perjalanannya bikin kepala, pinggangku seakan remuk. Begitu jauhnya kah negeri itu hingga aku harus begini susah untuk mencapainya.
Siang sudah berlalu, malampun perlahan-lahan tiba, tapi kami belum tiba juga. Belum menyentuh tanah Jawa yang dijuluki Loh Jenawi itu.Baru kikis sisa-sisa dan bau-bau Sumatra.
Jauh-jauh sekali hingga harus ku dapati sebuah pelabuhan untuk tiba di sana. Bakauheni, begitu orang-orang di sini menyebutnya. Pelabuhan yang terletak di ujung Sumatra ini serupa pabrik ikan saja bagiku. Bau amis menyeruak ke dalam bus membikin tanda-tanda di seluruh bajuku.
Benar, kalau ini masih Sumatra karena masih ku dapati makanan pedas di sini. Rumah makan terakhir yang ku singgahi sebelum menjejakkan kaki ke tanah Jawa itu menyuguhkan makanan pedas yang serupa ketika aku berada di rumah.
Tapi, yang buatku heran, mengapa mereka berbicara bahasa planet yang tak ku mengerti. Kalau itu bahasa Indonesia, masih bisalah ku mengerti. Kalau itupun bahasa Melayu, bisa aku ikutan berbincang dengan mereka. Namun ini, entah bahasa apa yang mereka gunakan bikinku serasa tak berada di Sumatra saja.
Baiklah, kalau ini sebuah pertanda kalau aku harus segera meninggalkan Sumatra. Bersama kapal besar yang siap angkutku menuju negeri itu.
Hutan hijau itu bertukar dengan jalanan lebar-lebar. Udara sejuk itu berganti dengan debu dan udara panas yang menyesakkan dada. Mulai ku lihat gedung-gedung yang tinggi. Mobil-mobil yang tetap tak bisa berjalan lancar di tengah jalanan lebar itu. Truk-truk besar bersatu dengan bus-bus besar dan mobil-mobil itu penuhi jalan raya yang makin tumplek dibuatnya.
"Inikah Jakarta?" batinku.
Ibuku yang sedari kemarin hanya sibuk tidur atau mengeluh mual juga dibuat terperangah karenanya. Maklumlah kami berdua baru pertama kali ini menjejakkan kaki di kota metropolitan ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)